Oleh : Rincani Mulya Risma, Nurul Paradela, Fitri Fauziya
Dengan memiliki kekuasaan untuk menguasai dan mengurus rumah tangganya sendiri, termasuk sumber keuangannya, menggali sumber daya alam dan sumber daya manusia, serta melestarikan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, maka provinsi Aceh memiliki hak-hak tertentu. Landasan hukum yang sehat memberikan kemampuan untuk mengontrol dan menyusun kehidupan hukum dengan menggunakan hukum Islam sebagai prinsip panduan. Oleh karena itu, penerapan syariat Islam di Aceh dapat dikatakan sebagai tatanan hukum.
Pengungkapan istilah syariah Islam disebutkan dalam UU No. 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh, pasal 3 dan 4, yang secara tegas menyatakan bahwa apapun yang dilakukan Aceh selama ini merupakan produk Pemerintah Pusat. Selain itu, gaya hidup religius merupakan aspek penting dari tatanan sosial masyarakat umum. Tegasnya, pengaturan masalah akan diselesaikan melalui qanun. Ini adalah tindakan perwakilan suatu negara atau AU yang menangani masalah penduduk.
Kedudukan syariah dalam hukum merupakan metode perlawanan terhadap keistimewaan yang menjadi ciri khas Aceh, seperti praktik hukum syariah Islam, pendidikan, dan adat istiadat. Implementasi Keistimewaan yang telah berlangsung selama lebih dari 40 tahun tertunda karena telah terungkapnya informasi baru tentang substansi dan bagaimana prinsip yang mengatur penerapannya membutuhkan perencanaan yang matang dan logika yang sehat untuk mencegah kerusakan pada akidah Islam sebagai utuh.
Pelaksanaan Jinayat di Aceh
Penyelenggaraan keistimewaan Provinsi Aceh, sesuai dengan Pasal 3 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, (1) penyelenggaraan kehidupan beragama; (2) pelaksanaan kehidupan adat; (3) penyelenggaraan pendidikan; dan (4) peran ulama dalam menetapkan kebijakan daerah. Penduduk Aceh tunduk pada hukum yang dikenal dengan “Qanun” pada umumnya. Hukum yang berlaku di Aceh paling sering disebut sebagai “Jinayat”.
Dalam Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat dijelaskan bahwa hukum Jinayat adalah hukum yang mengatur perilaku yang bertentangan dengan syariat Islam, seperti minum-minum, berjudi, melakukan kegiatan rahasia dengan orang yang bukan mahram, bercumbu dengan orang yang bukan pasangan dan pasangan, melakukan perzinahan, melecehkan dan memperkosa orang lain secara seksual, menuduh orang lain melakukan perzinahan tanpa memiliki setidaknya empat saksi, dan melakukan homoseksualitas atau pelanggaran lainnya. Jarimah Hudud, Jarimah Ta’zir, dan Jarimah Qisas adalah tiga kategori Jarimah (tindak pidana/hukum pidana) yang termasuk dalam Jinayat.
a. Jarimah Hudud, adalah kejahatan yang sanksinya berupa sanksi berdasarkan Al-Quran, dan hukumannya berupa hukuman had (hukuman yang telah ditentukan sifat dan besaran hukumannya). Tindak pidana Jarimah Hudud terdiri dari tujuh perbuatan yaitu zina, menuduh orang lain berzina, meminum minuman keras, mencuri, mengganggu ketentraman, meninggalkan Islam (murtad), dan memberontak (al-Bagyu).
b. Jarimah Ta’zir, adalah jari yang hukumannya belum ditentukan, hukumannya belum diputuskan oleh syara, dan hakim berwenang memutuskan hukumannya.
c. Jarimah Qisas dapat juga disebut sebagai ‘Hukum Balas’, adalah perbuatan berdosa, seperti membunuh atau menyakiti orang lain, yang pelakunya menerima hukuman yang sama dengan korban. Hukum ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa pelaku menerima hukuman yang adil atas kejahatan yang dilakukannya. Delik Jarimah Qisas terdiri dari lima perbuatan: Qatl ‘Amd (membunuh dengan sengaja), Qatl Shibh ‘Amd (membunuh dengan sengaja), Qatl Khat’a (pembunuhan tidak disengaja), Jarh’Amd (penganiayaan yang disengaja), dan Jarh Khat’a (penyalahgunaan yang tidak disengaja).
Jinayat di Aceh Dianggap Diskriminatif?
Penegakan hukum Islam ibarat pedang bermata dua yang selalu memiliki kelebihan dan kekurangan. Para pendukung percaya bahwa menerapkan hukum Islam akan membantu memelihara lingkungan yang nyaman, sejahtera, dan damai. Pihak lawan percaya bahwa itu akan menghasilkan masalah yang mendorong pola pikir yang menakutkan. Bahkan, mendahului pencanangan syariat Islam dalam Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 1999 dan penerapannya sesuai dengan Qânûn nomor 11 Tahun 2001 dalam rangka penerapan syariat Islam di Aceh.
Penerapan qanun jinayat dianggap tidak etis dan bias. Pelaksanaan qanun dianggap tidak adil karena ada sekelompok orang yang berada di atas hukum. Pelanggaran perzinahan, perjudian, dan pencurian dapat mengakibatkan hukuman yang berat. Namun, ketika aturan syariat Islam diterapkan pada elit, hal-hal menjadi suram dan hukumannya bahkan tidak disebutkan dalam qanun. Hal ini terlihat dengan tidak adanya qanun yang mengatur perilaku koruptif polisi.
Masyarakat Aceh paham bahwa penerapan undang-undang di Aceh hanya berdampak pada kelas bawah sementara para pejabat diperlakukan dengan “impunitas”. Meski demikian, para pemimpin daerah menegaskan bahwa Qanun Jinayat tidak membeda-bedakan.
Selain itu, masyarakat Aceh mendesak agar qanun jinayat ini membahas insiden korupsi selain masalah yang lebih merugikan publik seperti perzinahan, perjudian, dan masalah LGBT. Masyarakat umum dan akademisi sangat berharap agar hukum hinayat ini dapat ditegakkan. Terkadang pencuri yang korup lebih berbahaya daripada pencuri yang korup. Untuk mengambil tangan mereka, mereka membutuhkan hukum.
UU jinayat Aceh juga ditentang karena dinilai tidak masuk akal karena hanya mengurusi persoalan sendiri. Dengan kata lain, keberadaan qanun jinayat ini justru menimbulkan masalah baru bagi masyarakat ketimbang menyelesaikan masalah yang sudah ada di Aceh.
Mengutip Abdul Qadir Audah, dikatakan bahwa tujuan hukuman cambuk adalah untuk memperbaiki keadaan psikologis dan umum orang. Karena itu perlu untuk menjauhkan orang dari tindakan yang mempromosikan kejahatan dan ketidaknormalan. Aturan hukuman mencakup lima item khusus. Pertama, pidana yang dijatuhkan berfungsi sebagai pencegah yang bersifat preventif terhadap segala tindak pidana. Jika hukuman dijatuhkan, itu dilakukan untuk membuat pelaku sadar akan konsekuensi dari tindakannya dan untuk menghentikan orang lain meniru dan mengulanginya.
Kedua, tujuan pembatasan hukuman adalah untuk memajukan masyarakat. Beratnya hukuman akan bertambah jika masyarakat menyerukan hukuman yang lebih keras untuknya, begitu pula sebaliknya. Jika masyarakat memperoleh keuntungan dengan berharap bahwa hukuman dapat dikurangi, dikurangi, atau mungkin dihilangkan, maka hal itu juga akan diperhitungkan saat menegakkan hukum.
Ketiga, jika hukuman mati harus digunakan untuk menghukum para penjahat untuk menjaga masyarakat aman dari bahaya mereka dan untuk mengakhiri kejahatan, maka hal itu perlu dilakukan karena kejahatan akan lenyap begitu pelakunya tidak ada lagi.
Keempat, hukuman itu pantas jika menghasilkan keuntungan pribadi dan terus memberi manfaat kepada masyarakat.
Kelima, mendorong penjahat untuk mencari perbaikan diri daripada pembalasan dengan mendidik mereka.
Kelompok anti qanun ini menginginkan agar qanun tersebut memuat aturan yang lebih komprehensif tentang bagaimana Islam dapat menangani isu-isu seperti penebangan hutan, korupsi pemerintah, kekerasan bersenjata, perampokan, kemiskinan, kesehatan, dan isu lainnya. Karena dipahami bahwa menolak hukum Islam sama dengan menolak Islam itu sendiri, penolakan itu tidak terjadi secara lahiriah. Dikhawatirkan penolakan mentah-mentah akan mengakibatkan retribusi masyarakat berupa klaim bahwa seseorang telah meninggalkan Islam.
Tulisan di atas adalah opini sekelompok mahasiswa dalam tugas belajarnya di FISIP Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh.